Bayangkan, pembukaan kantor perwakilan OPM di
Inggris dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen
Inggris,Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin.
Bagaimanapun juga hal ini secara terang-benderang menggambarkan adanya
dukungan nyata dari berbagai elemen strategis Inggris baik di pemerintahan,
parlemen dan tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat.
Mari kita simak pernyataan anggota parlemen Andrew
Smith, dalam acara pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris tersebut. “Kami
akan bekerja sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby, PNG
pada strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”
Pernyataan Andrew Smith harus dibaca sebagai isyarat
bahwa gerakan internasionalisasi Papua sedang gencar dilakukan baik di lini pemerintahan
maupun parlemen di Amerika, Inggris, Australia dan Belanda. Penekanan
Andrew Smith terkait upaya melibatkan PNG, harus dibaca sebagai bagian
integral dari aliansi strategis Amerika Serikat-Inggris-Australia untuk
meng-internasionalisasi isu Papua, sebagai langkah awal menuju kemerdekaan
Papua, lepas dari Indonesia.
Kekhawatiran tersebut kiranya cukup beralasan,
karena dua bulan setelah peresmian kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris,
kelompok Jhon Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba melalui organisasi West Papua
National National Coalition for Liberation (WPNCL) diundang ke KTT ke-19
forum negara-negara rumpun Melanesia (Melanesian Spearhead Group/ MSG) di
Noumea, New Caledonia. Tindak lanjut dari KTT MSG itu, mereka akan
mengirimkan delegasi para Menlu ke Jakarta dan Papua untuk memantau
perkembangan kondisi HAM.
Gerakan Internasionalisasi Papua Bermula dari Washington
Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di
Kementerian Luar Negeri RI mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota
kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM)
untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. Gerakan ini
sudah bermula sejak awal 2000-an.
Informasi ini kiranya masuk akal juga. Dengan
tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih sejak
2008 lalu, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh
haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi
manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat
yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang
akan diberi angin. Maka kejadian pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris
April lalu, sudah seharusnya dipandang sebagai bukti nyata bahwa gerakan
internasionalisasi Papua yang dirintis oleh beberapa anggota Kongres dari
Partai Demokrat di Washington, memang tidak bisa dianggap enteng.
Beberapa fakta lapangan lain juga cukup mendukung.
Sejak pertengahan 2000-an, US House of Representatives, telah mengagendakan
agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION
AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus
mengenai Papua.
Kalau RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen
strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk
memerdekakan Papua secara bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat
yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi
intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang
sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika. Bukan
melalui sarana invasi militer seperti yang dilakukan George W. Bush di Irak
dan Afghanistan.
Maka Kementerian Luar Negeri RI haruslah siap dari
sekarang untuk mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi
destabilisasi di Papua. Berarti, KementerianLuar Negeri harus mulai menyadari
bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai elemen di TNI
maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran- pelanggaran HAM oleh
aparat keamanan.
Dengan kata lain, Undang-Undang Foreign Relation
Authorization Act (FRAA) akan dijadikan Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka.
Melalui FRAA ini, Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui
serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah
meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan
adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada
warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari
segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya
kita juga lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di
balik dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan
intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk
menggolkan kemerdekaan Papua.
Waspadai Modus Kosovo Untuk Papua Merdeka
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan
yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain
untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara
TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru
bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton
ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga
mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama
sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih
eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM
sepanjang 2009 ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan
menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu
kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HA Tapi sebenarnya ini skenario kuno
yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu
hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai
Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.
Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika
mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan
memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.
Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di
kongres. Sebab dalam salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar
Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran-
pelanggaran HAM di Papua.
Maka, kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca
semata sebagai konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu,
untuk membenturkan antara TNI dan
warga sipil Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.
Rand Corporation Rekomendasikan Indonesia Dipecah Jadi 7 Wilayah
Dalam buku saya, Tangan-Tangan Amerika (Operasi
Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia), terbitan Global Future Institute pada
2010, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi
Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 8 wilayah, yang mana salah satu
prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini yang kemudian saya
istilahkan dalam bukut saya sebagai BALKANISASI NUSANTARA.
Melalui skema Presiden Obama sejak 2008, dengan
menggunakan jargon demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka
masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi
hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Rekomendasi macam ini jelas tidak main-main
mengingat kenyataan bahwa Rand Corporation merupakan sebuah badan riset dan
pengembangan strategis di Amerika yang dikenal sering melayani secara
akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas
dukungan dana dari Pentagon pula. Sehingga bisa dipastikan
rekomendasi-rekomendasi studi Rand Corporation ditujukan untuk menyuarakan
kebijakan strategis Pentagon dan Gedung Putih.
Dengan demikian, internasionalisasi Papua dan Bahkan
Aceh, yang sudah menerapkan otonomi daerah, ternyata masih merupakan isu
sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building
yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi 7 bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation
ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998.
Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden.
Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan
Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation
tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation
dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa
negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang
terjadi pada 1999 masa pemerinthan BJ Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang
dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan
kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun
ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya
tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan
oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan
Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer. Dalam skema ini, Diplomasi
Publik Menlu Clinton, yang di era kedua kepresidenan Obama diteruskan oleh
Menlu John Kerry, akan menjadi elemen yang paling efektif untuk
menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau
Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi
dan penegakan HAM.
Menyadari kenyataan ini, rencana OPM berikutnya
untuk membuka kantor perwakilannya di Belanda Agustus ini, kiranya menjadi
satu hal yang logis. Berarti, Uni Eropa berperan besar dalam gerakan
internasionalisasi Papua ini.
Dan hal ini, sudah terbukti melalui MOUS Helsinki
untuk Aceh. Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral
di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen
sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain
sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen
lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika
skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan
separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari
skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang
berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI. Motivasi para penentu kebijakan
luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya
daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite
daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang
ini. Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli
kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan
metode yang berbeda.
Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka
Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black
Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan
koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari
American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim
bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.
Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap
enteng. Mari kita berkilas-balik sejenak.
Pada 2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS
terpaksa menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan
bahwa Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan
pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.
Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai
harus meladeni seorang anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan
ternyata manuver Eni tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia
bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang
temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri
John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari
suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran
HAM TNI.
Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau
Australia, juga santer mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak
pemerintahan Howard ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua.
Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi,
pemerintah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal
Papua.
Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi
memanas, apalagi berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka
ke Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang
memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan suaka
itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan operasi
intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen asing di
Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen Indonesia.
Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik,
Hukum dan Keamanan waktu itu, Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa
sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya
spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu usaha kemerdekaan
Papua.
Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan Widodo
sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan asing pro
Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya elemen-elemen di
Australia yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang ada suatu operasi
intelijen dengan target
utama adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.
Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga
harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang
dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di House of
Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah
Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen
suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua,
penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di
bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema
Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali
peranan PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969,
sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.
Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin
kehilangan provinsi yang kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita
mencermati skenario Kosovo merdeka.
Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan
didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat
dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan
Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya.
Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan
internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan
PBB 244 .
Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam
geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing globalnya,
Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang Amerika Freeport dan
perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi mereka untuk mengeruk
habis kekayaan alam di bumi Papua.
Sekaligus untuk strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Waspadai Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia ada rencana hendak dibelah dengan
memakai model Polinesia (negara pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai
beredar pengguliran Isu Negara Timor Raya di
Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar
pada klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
a. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
b. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
c. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.
MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan terkini berdasarkan
prakarsa dua anggota Kongres AS untuk menggolkan seruan resolusi agar
Baluchistan diberi hak sejarah menentukan nasib sendiri dan negara sendiri,
lepas dari Pakistan, maka Global Future Institute merasa perlu mengingatkan
kemungkinan langkah langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika Serikat dan
Sekutu-sekutu Eropanya:
1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin merdeka dan
lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua anggota Kongres AS
menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden bagi langkah serupa
terhadap Papua.
2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi yang
diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian dijadikan pola dan
modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas dari negara induk.
Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan
pemegang otoritas pemerintahan.
Prakarsa Anggota Kongres Dana Rohrabacher, Bukti
Nyata Gerakan Sistematis Washington Merdekakan Baluchistan Lepas dari
Pakistan
Kalau Amerika Serikat berniat memecah Indonesia jadi 7 bagian, seperti sempat
dirilis oleh Rand Corporation pada 1998 lalu, kasus Baluchistan bisa jadi
bukti nyata bahwa gerakan separatism memang bagian dari rencana
strategis Washinton.
Baru-baru ini, Dana Rohrabacher, anggota Kongres dari Partai Republik asal
negara bagian California, telah mengajukan sebuah resolusi yang pada intinya
menegaskan bahwa Baluchistan mempunyai hak sejarah untuk menentukan nasibnya
sendiri sebagai bangsa. Dengan kata lain, Dana Rohrabacher mendukung
berdirinya Baluchistan sebagai negara merdeka.
Seperti kita ketahui bersama, Baluchistan saat ini
terbagi menjadi daerah yang masuk dalam kedaulatan Pakista, Iran dan
Afghanistan. Mengingat nilai strategis Baluchistan sebagai daerah jalur sutra
yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, gas dan tambang, bisa dimengerti
jika Washington secara sistematis sedang membantu elemen elemen pro
kemerdekaan Baluchistan untuk jadi negara tersendiri yang bebas dari orbit
pengaruh Iran, Afghanistan dan Pakistan.
Terbukti bahwa prakarsa Dana Rohbacher tersebut
kemudian mendapat dukungan dari dua anggota Kongres lainnya seperti Louie
Gohmert dari negara bagian Texas, dan Steve King, dari negara bagian Iowa,
keduanya juga dari Partai Republik.
Manuver Washington untuk mendorong kemerdekaan
Baluchistan nampaknya memang cukup serius mengingat fakta bahwa Dana
Rohrabacher saat ini menjabat sebagai Ketua Sub-Komite Kongres bidang luar
negeri khusus bidang pengawasan dan investigasi.
Karena itu masalah sepertinya akan semakin krusial
karena Rohrabacher menegaskan bahwa salah satu pertimbangan mengapa dirinya
memprakarsai resolusi Kongres Amerika agar mendukung kemerdekaan Baluchistan,
karena adanya bukti bukti kuat tindak kekerasan dan korban pembunuhan diluar
jalur jalur hukum (Extra Judicial Killing).
Pada 1947, Baluchistan memang sempat bermaksud
memerdekakan diri, namun kemudian berhasil digagalkan oleh Pemerintah
Pakistan. Maka menghadapi gerakan Washington melalui prakarsa Dana
Rohrabacher dan kawan-kawan di Kongres ini, Pakistan lah pihak yang paling
duluan merasa kebakaran jenggot.
Tentu saja menghadapi manuver Rohrabacher Cs ini,
Pakistan mengecam prakarsa ini sebagai bentuk campur tangan terhadap
urusan dalam negeri Pakistan. Betapa tidak. Pakistan beranggapan bahwa
Baluchistan merupakan salah satu provinsi yang menjadi bagian dari Pakistan.
Mengingat masalah separatism ini sangat sensitif,
nampaknya Gedung Putih, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, belum berani
secara langsung membuka fron terhadap pemerintah Pakistan.
Terlepas adanya berbagai pandangan yang melihat
Baluchistan selama ini memang menjadi obyek eksploitasi para elit politik
suku Pastun dan Punjabi di Pakistan, rasa rasanya penilaian Pakistan bahwa
Amerika Serikat sedang melakukan campur tangan urusan dalam negeri Pakistan,
untuk mendorong gerakan kemerdekaan Baluchistan, memang benar adanya.
Kiranya ini bisa menjadi early warning signal bagi
pemerintah Indonesia, bahwa gerakan kaukus Papua di Kongres Amerika untuk
mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) memerdekakan Papua, cepat atau
lambat akan diagendakan kembali. Atau setidaknya, mengkondisikan Papua agar
bisa diangkat ke forum internasional (Internasionalisasi Papua).
|
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentari