Foto Pepera 1969 Doc KNPB |
Proses Ilegal perjanjian New York Agreement 15
Agustus 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Poroses
Aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam Negara kesatuan Rebuplik Indoneia (NKRI)
dilakukan dengan ilegal penuh dengan rekajasa. Berawal dari Trikora 19 desember 1961 perjanjian New
York Agreement 15 Agustus 1962 , penjerahan adminstrasi Papua Barat diserahkan
kepada Indonesia oleh UNTEA dan proses pelaksnaan Pepera 1969.
Ketika
Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara
Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara
merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah
Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura
(Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat.
Ketika
Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara
Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara
merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah
Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura
(Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan
Papua Barat.
Selanjutnya
atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka
pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa
tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah :
1.
M.W.
Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih),
2. Nicolaus Youwe (Hollandia),
3. P. Torey (Ransiki/Manokwari),
4.
A.K.
Gebze (Merauke),
5. M.B. Ramandey (Waropen),
6. A.S. Onim (Teminabuan),
7.
N.
Tanggahma (Fakfak),
8. F. Poana (Mimika),
9. Abdullah Arfan (Raja Ampat).
10. Kemudian wakil-wakil dari
keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia)
11.
H.F.W.
Gosewisch (mewakili Manokwari).
Setelah
melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat
akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat.
Komite
ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil
melahirkan Manifesto Politik yang isinya:
MANIVETO POLITIK
PAPUA BARAT
1.
Menetukan
nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara :
Bintang Kejora Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1
November 1961.
4.
Mata
uang Papua Barat :
Golden
5. Lambang Negara Papua Barat : Burung Mambruk dengan semboyan “One
People One Soul”.
Komite
Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di
Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang
Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku
Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi
kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen
inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure
sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada
tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di
Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1.
Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2.Kibarkan
Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi
dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando
Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun
1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto
untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah
itu dari tangan Belanda.
Akhirnya
dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan
militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti
Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil,
Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat
laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba.
Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus
(Opsus). Melalui operasi ini wilayah
Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada
waktu itu.
Dan
Soekarno mengancam kepada Negara Amerika
serikat dan negara barat dengan memohon
dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika
pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik
Indonesia.
Pemerintah
Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia
ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang
Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah
Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara
Belanda dan Indonesia.
Maka
Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke
tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS
berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke
Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi
Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan
balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang
dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk
mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat
dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya
masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari
dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang
mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice
kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA
(Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Penandatanganan
New York Agreement (Perjanjian New York)
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam
perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin New
York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun
moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa
Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi
bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan
Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan
Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia,
selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam
jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi
manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Pasal
XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all
adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of
self determination to be carried out in accordance whit international
practice”.
Aturan
ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa
Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan
New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara
lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang
dewasa laki-laki dan perempuan.
Sedangkan
dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang
menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat
penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam
penentuan nasib sendiri itu.
Teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969
untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer
Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego
Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota
Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila
pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan
musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila
alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain
pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan
kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk
menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum
dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah
bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”
Mengingat
bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain
di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya
kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada
tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani
Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga
dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada
tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan
Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan
Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi
realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua
Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962
hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan
Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem
“musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New
York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat
terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan
esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut
ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur,
dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal
Pelaksanaan Pepera 1969
Tanggal Kabupaten Anggota DEMUS Penduduk
14
Juli 1969 Merauke 175 144.171
16
Juli 1969 Jayawijaya 175 165.000
19
Juli 1969 Paniai 175 156.000
23
Juli 1969 Fakfak 75 43.187
26
Juli 1969 Sorong 110 75.474
29
Juli 1969 Manokwari 75 89.875
31
Juli 1969 Teluk Cenderawasih 130 83.000
02
Agustus 1969 Jayapura 110 81.246
J
u m l a h 1.025 809.337
Jumlah
Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No Unsur Jumlah Wakil/Utusan
1 Kepala Suku/Adat
400 orang
2 Daerah (Gereja/Alim Ulama) 360
orang
3 Orpol/Ormas
265 orang
J
u m l a h 1.025 orang
Jumlah
Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat
No Kabupaten Memberikan Pendapat Jumlah
Utusan Sakit
1 Merauke 20
175 1
2 Jayawijaya 18 175 1
3 Paniai 28 175 0
4 Fakfak 17
75 0
5 Sorong 16 110 0
6 Manokwari 26
75 0
7 Teluk Cenderawasih 24 130 1
8 Jayapura 26 110 1
J
u m l a h 175 1.025 4
Dengan demikian
proses pelaksanaan pepera 1969 adalah ilegal dan penuh dengan rekajasa cacat
hukum dan moral oleh karena itu Referendum Ulang
harus dilakukan secara damai dan bermartabat di Papua Barat.
Mengapa orang Papua di Papua Barat minta referendum secara damai karena rakyat Papua ketahui bahwa Solusi bagi Rakyat Papua Barat adalah “Referendum” menentukan Nasib bagi rakyat Papua Barat “selft Determination”, terkait dengan adanya Intimidasi dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di tanah Papua Barat atas prilaku kelakuan busuk oleh NKRI.
Mengapa orang Papua di Papua Barat minta referendum secara damai karena rakyat Papua ketahui bahwa Solusi bagi Rakyat Papua Barat adalah “Referendum” menentukan Nasib bagi rakyat Papua Barat “selft Determination”, terkait dengan adanya Intimidasi dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di tanah Papua Barat atas prilaku kelakuan busuk oleh NKRI.
Karena kehadiran
Militerisme (Tni-Polri) Neokolonialisme (Birokrasi Rezim NKRI), dan Imprealisme
(Perusahan-perusahan asing dengan sogokan kaki tangan NKRI) di Papua.
Kehadiran kerja mereka Papua hanya Membunuh rakyat sipil Merampas
Kekayaan alam dengan penindas rakyat pemilik daratan Pulau Cenderawasih Papua
dengan tindakan-tindakan tidak Manusiawi yang dilakukan ketiga musuh besar diatas
dengan melancarkan tekanan demi tekanan yaitu Intimidasi, terror Pemerkosaan,
Penembakan, penangkapan, dan Pemenjarahan terhadap rakyat tidak berdosa. Kami
diperbudak dan kami minoritas diatas negeri kami sendiri. Dengan alasan singkat
ini maka rakyat Papua sejutuh untuk “Referemdum”, jalan ini solusi terakhir
menuju cita-cita leluhur bangsa Papua barat Runpun Malanesia.**
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentari