Apa Itu Referendum? Dan Mengapa
Rakyat Papua Tuntut Referendum Ulang
Banyak masyarakat awam tidak mengetahui dengan pasti arti kata Referendum
tersebut. Definisi referendum adalah pelaksanaan pemungutan suara bagi suatu
komunitas masyarakat di suatu daerah (dalam satu negara) Kata Referendum atau
Plebisit berasal dari bahasa Latin yaitu plebiscita yang berarti pemilihan
langsung, dimana pemilih diberi kesempatan untuk memilih atau menolak suatu
tawaran/usulan. Di Indonesia sering disebut Jajak Pendapat sedangkan di
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disebut Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination).
Kata Referendum atau Plebisit berasal dari bahasa Latin yaitu
plebiscita yang berarti pemilihan langsung, dimana pemilih diberi
kesempatan untuk memilih atau menolak suatu tawaran/usulan. Di Indonesia sering
disebut Jajak Pendapat sedangkan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disebut
Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination).
Referendum sama dengan melaksanakan pemilihan umum. Bedanya bukan untuk
memilih Presiden atau wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen atau
(DPR), tapi rakyat diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Apakah
ingin merdeka (memisahkan diri) atau tetap berintegrasi dengan sebuah negara
yang selama ini menjadi induknya.
Di banyak negara yang demokratis tapi perakteknya tidak demokratis,
(contonya Indonesia) tuntutan pelaksanaan referendum untuk memisahkan diri yang
disuarakan warga minoritas, (tinggal di suatu wilayah), tidak digubris oleh
pemerintah yang berkuasa. Sebab, dengan melepaskan daerah tersebut, maka
wilayah negara itu akan menjadi lebih kecil, jumlah penduduknya jadi berkurang.
Bahkan, pendapatan negara bisa merosot. Apalagi bila daerah yang ingin
memisahkan diri itu mempunyai kekayaan alam yang berlimpah (contoh PT
Freeport). Karena itu, pihak pemerintah yang berkuasa akan berusaha sekuat
tenaga untuk tetap mempertahankan daerah tersebut.
Pada prinsipnya, Negara-negara besar dan kuat tidak menginginkan
wilayahnya terbagi-bagi menjadi banyak negara. Sebab, hal itu dapat merugikan
pemerintah yang berkuasa (Indonesia). Namun, jika pemerintah yang berkuasa
tidak sanggup untuk membendung, dan ekonominya moratmarit, negara besar
tersebut dipastikan ambruk dan akan menjadi se-jumlah negara. Contoh yang
paling nyata adalah Uni Soviet.
Mulanya, Uni Soviet itu merupakan sebuah negara besar (salah satu dari dua
Negara adidaya di dunia setelah Amerika Serikat).
Dulunya, tidak ada yang pernah membayangkan jika negara sebesar seperti
Uni Soviet (wilayah negaranya cukup luas) bisa hancur berkeping-keping menjadi
banyak negara.
Ekonomi negara itu terus terpuruk habis, sehingga pemerintahan
komunis di negara itu pada akhirnya tidak sanggup lagi mempertahankan status
sebuah negara besar. Apalagi desakan untuk berdiri sendiri sejumlah wilayah di
bawah Uni Soviet cukup kuat. Lalu, terpecahlah Uni Soviet ke dalam banyak
negara Negara
induknya yakni Rusia yang masih mewarisi sifat-sifat Uni Soviet.
Berbeda dengan kasus Uni Soviet, di sejumlah negara, kaum minoritas harus berjuang untuk memisahkan diri. Salah satu jalan yang ditempuh, yakni menuntut pelaksanaan referendum (secara damai) kepada pemerintah pusat. Namun, ada juga yang melakukan perlawanan bersen-jata seperti minoritas Tamil di Srilanka, Kurdi di Irak, Moro di Filipina, Tibet di Cina, Kashmir di perbatasan India dan Pakistan, serta banyak lagi contoh yang lainnya. Sangat sedikit negara yang bersedia melaksanakan referendum bagi pemisahan diri sebuah wilayahnya. Pelaksanaan referendum bisa terjadi di sebuah negara maju yang pemerintahannya sudah benar-benar demokratis.
Contoh Feferendum di Papua
Barat Tahun 1969
Pada tanggal 15 Agustus
1962 Belanda dan Indonesia menandatangani Per-janjian di Gedung Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB), New York Amerika Serikat mengenai Proses Peralihan
Administrasi Pemerintahan Papua Barat dan Pengaturan mengenai Proses
Referendum tahun 1969. Dalam Perjanjian tersebut, di mana dalam pasal 18
menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia akan melaksanakan PEPERA dengan
bantuan dan partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya untuk memberikan
kepada rakyat yang ada di Papua Barat kesempatan menjalankan penentuan pendapat
secara bebas. Tetapi kenyataannya
kecurangan dan manipulasi oleh Rezim Suharto dengan Kekejaman Kekuatan
militernya.
Saat itu Rakyat sipil
Papua banyak Korban Kekerasan di setiap daerah dipinggiran pantai,
lembah, pengunungan, dengan batas wilayah papua barat bagian utara
samudra pasifik, selatan samudra hindia, laut Arafuru, Carpentaria, Australia,
Barat Kepulauan Maluku, Timur Papua Nigini, sasaran utama lahirnya Pelanggaram
hak asasi manusia (Ham) di Papua Barat Pertama Adalah Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat,
adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah
Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden
Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Soekarno juga membentuk Komando Mandala.
Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk
menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Soekarno membentuk Komando
Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala
adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer
untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan
kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda
(Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan
Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950.
Perjanjian
New York 15 Agustus 1962
Perjanjian ini muncul
akibat adanya dukungan Persenjataan Rusia kepada Pemerintah Indonesia
melalui Politik President Soekarno untuk menolak Hak Penduduk Pribumi
Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri yang dibersiapkan Kerajaan
Belanda. Akibatnya Badan Inteligen Amerika (CIA) mengutus Mr. Elsworth
Bunker untuk berunding dengan Soekarno dan Menteri Luar Negeri Belanda DR.
Joseph Luns untuk mencari solusi agar Indonesia bisa memberhen-tikkan
Partai Komunisnya dan Persenjataan Militernya dari Rusia. Usul Soekarno yaitu
agar Belanda segera menyerahkan Administrasi Negara Papua Barat kepada
Indonesia sedangkan usul DR. Joseph Luns yaitu Indonesia harus bersedia
memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri kepada Rakyat Pribumi Papua.
Exploitasi hasil Bumi
Papua seperti PT Freeport di Papua mulai pada tahun 1936 dengan penemuan
Ertsberg, atau Gunung Bijih, yang selanjutnya dilanjutkan pada tahun 1960 oleh
Ekspedisi Freeport, dipimpin oleh Forbes Wilson & Del Flint. Pada tahun
1967 dilakukan penandatanganan Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang
menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg diatas wilayah 10
km persegi.
Tanggal 14 April tahun
2011 adalah hari ulang tahun ke-44 penandatanganan tersebut. President
Director & General Manager PTFI Armando Mahler mengatakan, "44
tahun sudah PTFI beroperasi di Bumi. Dalam sejarahnya di Papua PTFI selalu
berkembang, termasuk penemuan Grasberg pada tahun 1988, yang melipatgandakan
cadangan total dan menghasilkan Kontrak Karya baru (1991) dan akuisisi Phelps
Dodge Corporation oleh majority shareholder PTFI Freeport-McMoRan Copper
& Gold, Inc. (FCX) bernilai 26 milyar dolar AS pada bulan March 2007
menjadikan FCX sebagai produser tembaga terbesar di dunia yang tercatat di
bursa saham.
Papua Menuntut
Referendum Ulang (Secara Damai)
Mengapa orang Papua di
Papua Barat minta referendum secara damai karena rakyat Papua ketahui bahwa
Solusi bagi Rakyat Papua Barat adalah “Referendum” menentukan Nasib
bagi rakyat Papua Barat “selft Determination”, terkait dengan adanya Intimidasi
dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di tanah Papua Barat atas prilaku
kelakuan busuk oleh NKRI.
Proses
Ilegal perjanjian New York Agreement 15 Agustus
1962 dan Pentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969
Poroses Aneksasi bangsa
Papua Barat ke dalam Negara kesatuan Rebuplik Indoneia (NKRI) dilakukan dengan
ilegal berawal dari Trikora 19 desember 1961 perjanjian New York Agreement 15
Agustus 1962 , penjerahan adminstrasi Papua Barat diserahkan kepada Indonesia
oleh UNTEA dan proses pelaksnaan Pepera 1969.
Ketika Papua Barat masih
menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan
Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah
ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja
(Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia),
dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan
Papua Barat.
Ketika Papua Barat masih
menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan
Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah
ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah
Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura
(Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan
para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda
membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik
yang masuk dalam Dewan ini adalah :
1. M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan
Chouten/Teluk Cenderawasih),
2. Nicolaus Youwe
(Hollandia),
3. P. Torey (Ransiki/Manokwari),
4. A.K. Gebze (Merauke),
5. M.B. Ramandey (Waropen),
6. A.S. Onim
(Teminabuan),
7. N. Tanggahma
(Fakfak),
8. F. Poana
(Mimika),
9. Abdullah Arfan
(Raja Ampat).
10. Kemudian
wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia)
11. H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari).
Setelah melakukan
berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat
ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan
kemerdekaan Papua Barat.
Komite ini akhirnya
dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan
Manifesto Politik yang isinya:
MANIVETO
POLITIK PAPUA BARAT
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu
kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera
Negara : Bintang Kejora
4. Mata Uang :
Golden
5. Menentukan bahwa
bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
6. Lambang Negara Papua
Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Komite Nasional, maka
Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus
“Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di
samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan
setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat
ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi
Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure
sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada tanggal 19 Desember
1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara
Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan
“Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2.Kibarkan Sang Merah
Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk
mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan
Bangsa.
Realisasi dari isi
Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang
memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk
melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari
tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan
beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang
diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi
Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga,
Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah
Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada
fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat
diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Pemerintah Amerika
Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke
dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden
yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika
Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan
Indonesia.
Maka Amerika Serikat
memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik
Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati
presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika
Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu
Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk
membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam
usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata
dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui
jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat
ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB
dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free
Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan
oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat)
yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Penandatanganan New York
Agreement (Perjanjian New York) antara
Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht
Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta
penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin New
York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun
moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa
Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi
bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan
Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan
Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia,
selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam
jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi
manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Pasal XVIII ayat (d) New
York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female,
not foreign nationals to participate in the act of self determination to be
carried out in accordance whit international practice”.
Aturan ini berarti
penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan
wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York
Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
1969 dilaksanakan dengan cara lokal
Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki
dan perempuan.
Sedangkan dari 1025
orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau
membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu
masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan
New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib
sendiri itu.
Teror, intimidasi dan
pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk
memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.:
r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida
kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa
poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah),
penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan
secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak
dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan
kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk
menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum
dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah
bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”
Mengingat bahwa wilayah
kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar
kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang
lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967
Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak
Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas
di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun
1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya
penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik
Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969
dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua
Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat
Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah”
(sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York
Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror,
intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi
demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut ini adalah
jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah
wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan
Pepera 1969
Tanggal Kabupaten Anggota DEMUS Penduduk
14 Juli 1969 Merauke 175 144.171
16 Juli 1969 Jayawijaya 175 165.000
19 Juli 1969 Paniai 175 156.000
23 Juli 1969 Fakfak 75 43.187
26 Juli 1969 Sorong 110 75.474
29 Juli 1969 Manokwari 75 89.875
31 Juli 1969 Teluk Cenderawasih 130 83.000
02 Agustus 1969 Jayapura 110 81.246
J u m l a h
1.025 809.337
Jumlah Wakil/Utusan
Berdasarkan Unsur
No Unsur Jumlah Wakil/Utusan
1 Kepala Suku/Adat 400 orang
2 Daerah (Gereja/Alim Ulama) 360 orang
3 Orpol/Ormas 265 orang
J u m l a h 1.025
orang
Jumlah Wakil/Utusan yang
Memberikan Pendapat
No Kabupaten Memberikan Pendapat Jumlah
Utusan Sakit
1 Merauke 20
175 1
2 Jayawijaya 18 175
1
3 Paniai 28 175
0
4 Fakfak 17
75 0
5 Sorong 16
110 0
6 Manokwari 26
75 0
7 Teluk Cenderawasih 24 130 1
8 Jayapura 26 110 1
J u m l a h 175 1.025 4
Dengan demikian
proses pelaksanaan pepera 1969 adalah ilegal dan penuh dengan rekajasa cacat
hukum dan moral oleh karena itu Referendum Ulang
harus dilakukan secara damai dan bermartabat di Papua Barat.
Mengapa orang Papua di Papua Barat minta referendum secara damai karena rakyat Papua ketahui bahwa Solusi bagi Rakyat Papua Barat adalah “Referendum” menentukan Nasib bagi rakyat Papua Barat “selft Determination”, terkait dengan adanya Intimidasi dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di tanah Papua Barat atas prilaku kelakuan busuk oleh NKRI.
Karena
kehadiran Militerisme (Tni-Polri) Neokolonialisme (Birokrasi Rezim NKRI), dan
Imprealisme (Perusahan-perusahan asing dengan sogokan kaki tangan NKRI)
di Papua. Kehadiran kerja mereka Papua hanya Membunuh rakyat sipil
Merampas Kekayaan alam dengan penindas rakyat pemilik daratan Pulau
Cenderawasih Papua dengan tindakan-tindakan tidak Manusiawi yang dilakukan
ketiga musuh besar diatas dengan melancarkan tekanan demi tekanan yaitu
Intimidasi, terror Pemerkosaan, Penembakan, penangkapan, dan Pemenjarahan
terhadap rakyat tidak berdosa. Kami diperbudak dan kami minoritas diatas negeri
kami sendiri. Dengan alasan singkat ini maka rakyat Papua sejutuh untuk
“Referemdum”, jalan ini solusi terakhir menuju cita-cita leluhur bangsa
Papua barat Runpun Malanesia.**
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentari