Ham

DEWAN ADAT PAPUA WILAYAH BIAK MENDESAK POLRES BIAK SEGERA BEBASKAN 3 AKTIVIS HAM


DEWAN ADAT PAPUA WILAYAH BIAK MENDESAK POLRES BIAK SEGERA BEBAKAN 3 AKTIVIS HAM YANG DITAHAN DENGAN PASAL PENGHASUTAN OLEH POLRES. HAL INI DISAMAPAIKAN MELALUI SURAT DEWAN ADAT BIAK PADA 30 MEI 2O15

Jayapura 02 Mei 2015 Dewan Adat Papua Wilayah Biak mengeluarkan surat resmi untuk mendesak Kapolres Biak Numfor segera bebaskan 3 Aktivis HAM yang ditahan di Polres Biak Sejak tanggal 20 Mei 2015. Mereka mengatakan Polres Biak Numfor harus membebaskan segera 3 Aktivis Ham yang di tahan polres oleh kepolisian dengan tuduhan Pasal penghasutan dalam renca aksi demo damai pada tanggal 21 Mei 2015, ayng dimediasi oleh Komite Nasional Papua Barat KNPB Wilayah biak.

Karena menurut dewan adat Papua Wilayah, pasal yang ditudukan oleh kepolisian terhadap tiga aktivis tersebut tidak relevan dan mengada-ada karena akasi tersebut aksi Demo dami sesuai dengan hak berpendapat yang  di muka umum sesui dengan Undang-undang  tahun 1998 pasal 28 manyamin setiap orang mengeluarkan pendapat di muka umum secara bebas.  Berikut kutipan isi surat:  
Perlu kami sampaikan bahwa aksi yang mereka lakukan pada tanggal 21 Mei 2015 itu adalah demonstrasi damai, dan ini adalah bagian dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum. Aksi damai yang mereka lakukan itu tidak mengakibatkan kerusuhan, atau tidak terjadinya bentrok antara massa demonstrasi dengan pihak keamanan atau tidak terjadinya bentrok dengan kelompok masyarakat lain.
Tujuan dari aksi demonstrasi mereka adalah untuk menyampaikan persoalan hak-hak masyarakat adat Papua untuk mendapat solusi penyelesaiannya.
Kegiatan aksi damai mereka pada tanggal 21 Mei 2015 itu masih bisa dilakukan pendekatan komunikatif dan persuasive untuk mengarahkan mereka untuk tidak melakukan aksi mereka itu secara tertib dan damai.

Oleh karena itu Aktivis Hak Asasi Manusia untuk Hak-hak masyarakat Papua yang maksudkan adalah ;
1. Apolos Sroyer
2. Dortheus Bonsapia
3. Yudas Kossay

Untuk diketahui  bahwa tiga aktivis tersebut ditangkap pada tanggal 20 mei 2015 oleh kepolisian terkait rencana aksi demo damai mendukun ULMWP yang diselenggarakan di biak pada tanggal 21 Mei 2015 lalu.

 Berukut isi surat Dewan Adat Papua Wilayah Biak.



OTORITAS ADAT PAPUA
DEWAN ADAT BYAK
“ KANKAIN KAKARA BYAK “
( Biak Customary Council)


Alamat Jl. Majapahit Kelurahan Karang Mulia Distrik Samofa Biak-Papua

No                   : 032/PERDAT-DAB/V/2015
Perihal            : -
Hal                  : Mohon membebaskan tersangka dari aksi Demonstrasi Damai pada tanggal 21 Mei 2015

Kepada Yang terhormat
Kepala Kepolisian Resort Kabupaten Biak Numfor
Di –
Tempat

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan ini kami Dewan Adat Biak sebagai lembaga untuk melakukan perlindungan, promosi dan memastikan masyarakat Adat Biak dapat memenuhi hak-hak masyarakat Adatnya, menyampaikan dan memohon kepada Bapak untuk dapat membebaskan aktivis Hak Asasi Manusia untuk Hak-hak masyarakat adat Papua yang telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal ancaman penghasutan.

Aktivis Hak Asasi Manusia untuk Hak-hak masyarakat Papua yang maksudkan adalah ;
1. Apolos Sroyer
2. Dortheus Bonsapia
3. Yudas Kossay

Perlu kami sampaikan bahwa aksi yang mereka lakukan pada tanggal 21 Mei 2015 itu adalah demonstrasi damai, dan ini adalah bagian dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum.

Aksi damai yang mereka lakukan itu tidak mengakibatkan kerusuhan, atau tidak terjadinya bentrok antara massa demonstrasi dengan pihak keamanan atau tidak terjadinya bentrok dengan kelompok masyarakat lain.

Tujuan dari aksi demonstrasi mereka adalah untuk menyampaikan persoalan hak-hak masyarakat adat Papua untuk mendapat solusi penyelesaiannya.
Kegiatan aksi damai mereka pada tanggal 21 Mei 2015 itu masih bisa dilakukan pendekatan komunikatif dan persuasive untuk mengarahkan mereka untuk tidak melakukan aksi mereka itu secara tertib dan damai.

Saudara Apolos Sroyer dan Saudara Dortheus Bonsapia sebagai penanggung jawab kegiatan aksi demonstrasi damai itu sudah ditangkap 1 hari sebelum kegiatan mereka sebagai jaminan. Dimana mereka menjaminkan akan dilaksanakan aksi demonstrasi mereka secara damai. 2
Polisi sudah berhasil menggalau massa demonstran yang baru berkumpul di Pasar Dafuar itu dengan cara menangkap dan membawa mereka ke kantor polisi, sehingga rencana aksi damai mereka itu dapat dikatakan tidak berhasil, karena polisi sudah cegah pada awal. Pada sorenya polisi memulangkan para demonstran yang ditangkap itu dan semestinya memulangkan mereka semua dan tidak menahan dan menetapkan Apolos Sroyer, Dortheus Bonsapia dan Yudas Kossay sebagai tersangka dengan pasal Penghasutan.

 Kami perlu menyampaikan bahwa konflik politik Papua itu sudah berjalan 50 tahun lebih lamanya dimana penembakan, penyiksaan, pembunuhan, penangkapan dan penjara tidak dapat menjawab penyelesaian masalah dan hanya menambah jumlah daftar korban dan penindasan kepada rakyat Papua. Pengalaman adanya operasi TNI dan polisi dari tahun 1964- saat ini tidak menyelesaikan masalah.

Kami sangat senang dengan kebijakan Jokowi Presiden Indonesia yang baru saja berkunjung ke Papua dan membebaskan 5 tahanan politik Papua, membuka akses jurnalis international ke Papua dan mengatakan polisi dan TNI perlu merubah cara-cara menyakitkan rakyat Papua.
Kami sangat sesali sepulangnya Jokowi Presiden Indonesia dari Papua ternyata polisi masih saja menangkapan dan menahan para demonstran damai, dimana daftar tahanan politik Papua akan terus meningkat. Padahal Jokowi Presiden Indonesia berjanji untuk akan membebaskan semua tahan politik Papua.

Pada tanggal 21 Mei 2015 itu terjadi juga demonstrasi damai di Timika dimana massa yang jumlahnya lebih banyak atau besar dari aksi demonstrasi damai di Biak melakukan pawai sampai di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua berakhir dengan damai dan mereka ditidak ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka penghasutan.

Penentapan mereka sebagai tersangka adalah Pembatasan Kemerdekaan Menyatakan Pendapat. Kemerdekaan menyatakan pendapat sebagai salah satu bagian dari kebebasan berekspresi, jelas merupakan salah satu hak yang dapat dibatasi berdasarkan hukum internasional. Tidak dapat disangkal bahwa kemerdekaan berekspresi adalah salah satu hak yang fundamental yang penting untuk dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tanpa jaminan yang kuat terhadap kemerdekaan berekspresi, maka dapat dipastikan akan terjadi hambatan lalu lintas pertukaran ide dan gagasan serta tertutupnya akses masyarakat terhadap informasi.

Kebebasan berpendapat atau kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yakni hak untuk berpendapat atau berekspresi. Jika dilihat dari generasi hak asasi menusia merupakan kategori hak fundamental. Sebuah hak yang terdapat pada generasi pertama dalam sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, yakni hak tergolong dalam hak sipil dan politik (politic and civil right).

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara berdasarkan hukum, maka Indonesia dalam konstitusinya selalu mencantumkan kerangka dasar jaminan terhadap hak asasi manusia. Namun meski ada jaminan hak asasi manusia, ternyata sebagian struktur dan isi dari UU masih mempunyai kontradiksi dengan jaminan tersebut. Terlebih setelah adanya Perubahaan II Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat Indonesia No 3
XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia, Undang- Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, maka posisi Indonesia secara normatif adalah masuk dalam salah satu negara yang mestinya maju dalam bidang perlindungan, pemajuan, dan promosi hak asasi manusia di dunia.
Namun, dalam konteks tertentu, masuknya berbagai jaminan hak asasi manusia itu sendiri tidak langsung secara serta merta menjadi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam melihat kerangka hukum dalam proteksi hak asasi manusia.

Ini menunjukan Negara Indonesia belum menjamin Kemerdekaan Berpendapat secara sepenuhnya, hal ini berdasarkan tindakan negara berperan secara aktif atau terlalu ikut campur dalam pemenuhan hak social politik kebebasan berpendapat di muka umum, dan bertentangan dengan konvenan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia yang menetapkan bahwa peran negara dalam pemenuhan Hak Sosial Politik termasuk didalamnya kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum haruslah bersifat pasif.

Di Indonesia sendiri masih cukup banyak aturan perundang-undangan yang masih membelenggu hak asasi manusia, sebagai salah satu contohnya dalam hal ini adalah Kitab Undang Hukum Pidana ( KUHP). KUHP memuat banyak peraturan yang dapat membatasi hak-hak sipil dan politik terutama hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan. Cukup beragam kasus-kasus yang dapat menjerat perorangan dan/atau sekelompok orang yang menggunakan hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan menggunakan KUHP yang ironisnya putusan pengadilan justru cenderung kaku dalam melihat problem kemerdekaan menyatakan pendapat. Beragam contoh yang bisa dikemukakan dalam menjerat para pengguna hak menyatakan pendapat ini, dari perbuatan tidak menyenangkan hingga ke pencemaran nama baik, dari penghasutan hingga ke penodaan terhadap agama.

Penghasutan sebagai salah satu jenis tindak pidana yang eksis dalam KUHP masih terus menjadi sorotan, baik sorotan terhadap implementasi dari jenis tindak pidana ini maupun sorotan terhadap norma konstitusionalnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP), maka Indonesia juga harus menyelaraskan ketentuan hukum pidana nasionalnya agar selaras dengan maksud dan tujuan dari KIHSP. Dalam konteks hukum pidana positif dan pembaharuan hukum pidana, maka tindak pidana penghasutan dalam konteks ini dapat membatasi kemerdekaan menyatakan pendapat yang telah dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) serta ayat (3) dan Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945.

Masih adanya tindak pidana penghasutan dalam konteks sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum jelas merupakan langkah mundur. Apalagi tindak pidana tersebut dirumuskan dalam delik formal yang dapat menjerat siapapun yang melakukan aktivitas menyatakan pendapat dan penyebarluasan informasi.
Banyak dari aktivis pro demokrasi yang dapat terjerat pasal ini dan juga advokat karena melakukan aktivitas penyadaran hukum. 4
Pasal ini membelenggu kebebasan berpendapat dan berpikir sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini sudah tak relevan digunakan lantaran secara secara historis sering kaili digunakan Pemerintah Hindia Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya.
Seorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan.

Kami perlu sampaikan bahwa pada dasarnya masyarakat adat disuatu wilayah menutut adanya pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri, karena secara kolektif mereka dijajah oleh suatu kekuasaan Negara tertentu. Dan jika masyarakat adat diwilayah itu secara kolektif merasa bahwa tidak dijajah, maka pasti tidak menutut adanya hak penentuan nasib sendiri.

Untuk mengakhiri surat ini saya perlu sampaikan bahwa “ janganlah menerapkan hukum yang akan mengacaman masyarakat adat Papua yang pada gilirannya secara kolektif tertindas dan merasakan sedang dijajah. Kalau masyarakat adat Papua secara kolektif merasa bahwa ia sedang dijajah, maka giliriannya adalah tuntutan hak penentuan nasib sendiri sebagai bagian dari dekolonisasi.

Demikian surat permohonan ini saya buat. Atas perhatian dan dukungannya dihaturkan terima kasih.



Biak, 30 Mei 2015


Tembusan :
1. DPR RI
2. Komnas HAM RI
3. DPR Provinsi Papua
4. MRP
5. Komisi HAM Daerah Papua
6. DPRD Biak Numfor
7. LBH Jayapura
8. Kontras Papua
9. ELSHAM PAPUA
10. Dewan Adat Papua
11. Sinode GKI
12. Dewan Gereja Sedunia
13. Komisi HAM PBB
14. Arsip 







About Suara Duka Dari Papua

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentari

Diberdayakan oleh Blogger.