Pemerintah Indonesia adalah
Nagara Pelanggar Hukum Nasional dan Internasional(Government of Indonesia is a
Violator of the International and National Laws)
mempertanggungjawabkan isu ini, Activist Independence Papua Sebby Sambom
dapat memberikan pendapatnya berdasarkan pengamatan dan penelidikannya selama
22 Tahun tentang kesalahan Pemerintah Indonesia dalam hal memberikan definisi
pada setiap ratifikasi Hukum HAM Internasional, kedalam Undang-Undang
Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam article Release ini dapat menjelaskan atas pelanggaran-pelanggaran
hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, yang Pemerintah Republik Indonesia lakukan
dari tahun ke tahun. Mengapa? Sebab dari Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi
Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948; Pengesahan dan penandatanganan Kovenan
Internasional (International Covenant on Civil and Political Rights) pada
tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas
Hak-Hak Masyarakat Adat (the United Nations Declaration on the Rights
of Indigenous Peoples) pada tanggal 13 September 2007;
Hal ini dapat dipersoalkan karena Pemerintah Republik Indonesia tidak
pernah mengindahkan semua Deklarasi dan Kovenan-Kovenan Internasional,
sekalipun Indonesia juga ikut menyetujui dan turut ambil bagian dalam
penandatanganannya.
Untuk membuktikannya, public diberikan sesempatan yang seluas-luasnya agar
dapat mengikuti contoh-contoh kasus pelanggaran Hukum dan HAM, yang Pemerintah
Republik Indonesia telah dan sedang lakukan pada bagian bawah ini:
Contoh Pertama, Pelanggaran Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia oleh Pemerintah Republlik
Indonesia Melalui Aneksasi Bangsa Papua Barat Kedalam Wilayah Republik
Indonesia. Ini adalah salah satu contoh berdasarkan fakta, yang Pemerintah
Indonesia melanggar, yang terutama pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, yang
mana Pemerintah Indonesia laksanakan tidak sesuai denganInternational Covenant on Civil and Political Rights (Part
I Article 1 Paragraph 1, 2, 3 Part II Article 5 Paragraph 1, 2,; Part III
Article 6 Paragraph 1, 2, ; Article 7 Article 9 Paragraph 1; Article 10
Paragraph 1; Article 14 Paragraph 1, dan 2). Hal ini terbukti bahwa pelanggaran
hukum dan hak-hak asasi manusia ini lebih banyak Pemerintah Indonesia lakukan
terhadap bangsa Papua Barat dan Aceh, yang mana tidak pernah akhirnya dalam
kehidupan masyarakat.
Contoh Kedua, Pelanggaran Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia oleh Pemerintah
Republik Indonesia melalui Kampanye Kontroversi Tentang Kovenan Internasional.
Untuk lebih jelasnya boleh ikuti kutipan VERSI DEPLU RI dibawah ini:
Laporan Awal Republik Indonesia Tentang Implementasi dari Kovenan
Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Departeman Luar
Negeri Republik Indonesia 2007.
Dari bagian angka romawi I (PENDAHULUAN) halaman satu sampai bagian
angka romawi V (SARAN-SARAN DAN REKOMENDASI) halaman seratus empat puluh,
terdapat banyak kejanggalan yang mana sebenarnya lebih banyak merugikan
masyarakat adat pribumi Internasional.
Hal ini terbukti dari pendefinisian pasal demi pasal Kovenan Internasional
oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, yang mana terjemahan dan
pendefinisiannya diluar perhitungan yang tidak sesuai keinginan masyarakat
Internasional serta tidak sesuai kehendak mayoritas negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang bergabung dan turut serta dalam penandatanganannya.
Dalam release ini disusun dari point 1 hingga 604 dengan
bagian-bagian, sesuai definisi dari setiap pasal. Oleh karena itu,
Activist Independence Papua mencoba memberikan contoh-contoh kejanggalan
pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia pada bagian bawah
dalam release ini.
2.1. Bagian angka romawi II. E. (Kerangka Hukum) atau angka romawi II. E.
1. (Undang-Undang dan Peraturan yang Mendukung HAM), pada point 65 halaman 16
dan halaman 17, yang menjelaskan bahwa Indonesia akan mendukung
pemajuan-peningkatan Hak-Hak Asasi Manusia. Berikut komitmen Pemerintah
Indonesia dapat dilihat dari point 65, yang mana mencantumkan semua
Undang-undang, peraturan Pemerintah dan penganti undang-undang.
Yang dimaksud adalah:
65. Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen dalam Pemajuan dan
pelindungan Hak-Hak Asasi Manusia secara Umum. Hal ini dapat dilihat dari
falsafah negara dan melalui perundangan nasional yang berhubungan dengan
Hak-hak Asasi Manusia Seperti:
a. Pancasila,
terutama sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”;
b. Undang-Undang
Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28A-28J;
c. Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia;
d. Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia;
e. Undang-Undang
No.23 Tahun 2004 tentang Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
f. Undang-Undang
No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
g. Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2002, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
h.Peraturan
Pemerintah No. 3 tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
terhadap Pelanggaran Berat Hak-Hak Asasi Manusia;
i.Keputusan
Presiden No. 40 Tahun 2004, tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia
(2004-2009);
j. Perundang-Undangan
tentang konvensi-Konvensi Utama Perserikatan bangsa-Bangsa:
- Undang-Undang No.
68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan;
- Undang-Undang No.
7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
- Keputusan
Presiden No. 48 Tahun 1993, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Apartheid
Dalam Olahraga Tahun 1985;
- Undang-Undang No.
5 Tahun 1998, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Penjiksaan dan Kekejaman
Lainnya, dan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan harkat serta martabat
Kemanusiaan;
- Undang-Undang No.
29 Tahun 1999, tentang Konvensi Internasional Pemberantasan Segala Bentuk
Diskriminasi Ras;
- Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi dari Hak Anak;
-
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
- Undang-Undang No.
12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik;
Untuk
menghubungkannya, semua Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Perpu dan Kepres
yang dimaksud diatas dapat diratifikasikan dari:
* The Convention on
the Rights of the Child (1989);
* The Convention on
Biologycal Diversity (1992);
* Agenda 21 (1992);
* The International
Covention on Civil and Political Rights (1966);
* The International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (1966);
* The International
Conference on Population and Development (1994);
* Dan Seterusnya
Kovensi-Kovensi dan Deklarasi lainnya tentang Hak-Hak Asasi manusia.
2.2. Bagian angka romawi III (LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI KOVENAN)
II. A . BAGIAN I Kovenan Internasional pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 dan
berlanjut pada definisi atas pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan politik, yang termuat pada point 93 pada halaman 22; point 94, 95,
96, 97 pada halaman 23; point 98, 99, 100 dan 101 pada halaman 24; point 102
dan 103 pada halaman 25; serta point 104, 105, 106, dan 107 pada halaman 26.
Selengkapnya dapat diuraikan kutipan asli yang Departemen Dalam Negeri Republik
Indonesia susun, berdasarkan arkumendasi versi politik Jakarta tanpa
memperhitungkan definisi pemahaman Internasional yang sesungguhnya.
Yang dimaksud adalah:
Pasal 1
1. Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak
tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk
mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
2. Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri dapat mengelola
kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang
timbul dari kerja sama ekonomi Internasional, berdasarkan prinsip saling
menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak
dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber
kehidupannya sendiri.
3. Negara pihak pada Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggungjawab
atas penyelenggaraan wilayah tanpa Pemerintahan Sendiri dan wilayah Perwalian,
harus memajukan Perwujudan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan harus
menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa”.
Silakan ikuti kutipan versi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
dibawah ini:
92. Pasal 1 dari International Covenant On Civil and political Rights
menjamin bahwa setiap bangsa memiliki hak menentukan nesib sendiri. Sebagai
sebuah teori, konsep hak menentukan nasib sendiri memiliki berbagai definisi
atau pemahaman bagi berbagai bangsa yang berbeda. Di dalam sistim
Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap setidaknya lima pengertian dari hak
menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan kelima pengertian tersebut, laporan
ini bertujuan menganalisa apakah Indonesia telah mengimplementasikannya.
93. Definisi Pertama, dari menentukan nasib sendiri adalah kemerdekaan. Hal
ini sering disebut sebagai tradisional atau dekolonisasi “Salt Water”,
yang berarti bahwa setiap wilayah yang mengalami penduduk asing berhak untuk
menentukan nasibnya sendiri melalui implementasi dari penentuan nasib sendiri.
Implementasi dekolonisasi seperti ini berhubungan dengan hak wilayah yang
diduduki untuk merdeka. Definisi ini oleh sebagian besar orang dianggap
sebagai sesuatu yang telah dilunakan, karena sebagian besar wilayah yang
menjadi daerah jajahan telah mendapatkan kemerdekaan dari pengaruh penjajah,
Sehingga dekolonisasi diangkap tidak ada karena sempitnya makna.
94. Untuk Indonesia, arti dari penentuan nasib sendiri di dalam
dekolonisasi hanya berlaku bagi wilayah yang masih dibawah pendudukan asing
atau penjajahan, dan tidak dapat diterapkan bagi wilayah-wilayah yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari sebuah negara merdeka. Indonesia sendiri harus
melalui proses perjuangan untuk menentukan nasibnya sendiri, setelah menderita
selama periode yang lama dibawah penjajahan asing. Pada tanggal 17 Agustus 1945
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya yang menandakan bahwa hak menentukan
nasib sendiri oleh bangsa Indonesia telah di implementasikan secara penuh.
Pemerintah Indonesia memiliki undang-undang khusus (N0.3 tahun 2004 tentang
pertahanan negara khususnya pasal 4 dan 7, yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan pertahanan negara ditunjukan bagi perlindungan kemerdekaan dan
keutuhan wilayah negara.
95. Pemahaman kedua, dari hak menentukan nasib sendiri adalah bebas dari
pengaruh asing. Hal ini berarti bahwa negara yang berdaulat harus bebas dari
pendudukan tentara asing, dan juga dari serangan atau pengendalian pihak asing.
Dalam hal ini Indonesia tidak memiliki permasalahan atas konsep tersebut.
Sebagai bukti Indonesia telah mendukung sepenuhnya perjuangan bangsa Palestina,
karena Indonesia percaya bahwa Palestina memiliki hak untuk bebas dari penduduk
asing.
96. Makna ketiga, dari hak ini adalah otonomi. Definisi ini diterjemahkan
sebagaimana di perlakukan di dalam sebuah negara berdaulat melalui pemberian
kesempatan kepada kelompok tertentu yang di dasari oleh sebuah pertimbangan
khusus. Indonesia telah mengimplementasikan konsep ini dengan cara memberikan
otonomi kepada Pemerintah-Pemerintah daerah. Dalam keadaan tertentu Pemerintah
tidak saja memberikan otonomi, namun lebih dari itu dapat di sebabkan adanya
keadaan khusus di wilayah tersebut pasal 18b bagian 1 dari Undang-Undang Dasar
1945 secara jelas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
bagian-bagian kekuasaan di wilayah yang merupakan wilayah khusus dan berbeda
sesuai dengan ketentuhan hukum.
97. Provinsi Aceh dan Jogyakarta adalah contoh bahwa pemerintah telah
memberikan otonomi istimewa.Pemerintah dalam hal ini memperkenalkan beberapa
Hukum penting untuk menjamin implementasasi dari otonomi.Sebagai contoh
pemerintah pada tahun 2004 telah membuat undang-undang No. 32 tentang
Pemerintah Daerah. Amandemen-amandemen dari Undang-undang Dasar 1945 juga
berisi ketentuan-ketentuan khusus tentang kekuasaan daerah. Pasal 18
mengatakan bahwa NKRI dibagi menjadi Provinsi-Provinsi yang selanjutnya di bagi
kedalam Kabupaten/kota, dan penguasa di Provinsi dan Kabupaten atau kota akan
menegakan serta mengendalikan permasalahannya sendiri sesuai dengan prinsip
otonomi daerah. Pasal 6 lebih tegas mengatakan bahwa kekuasaan daerah
memiliki kewenangan untuk mengadopsi ketentuan daerah lainnya untuk
mengimplementasikan otonomi dan tugas bantuan lainnya.
98. Pemahaman Keempat, dari hal penentuan nasib sendiri adalah Pemerintah
yang demokratis. Pemerintah yang demokratis dapat diartikan bahwa rakyat
memiliki hak untuk menentukan masa depan sendiri di dalam negara melalui
kegiatan demokrasi seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil,
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, berpikir, dan berkumpul.
Pemahaman ini terkait erat dengan otonomi.Dalam hal ini, Indonesia tidak
memiliki keberatan atas pemahaman ini. Sebagai sebuah negara demokrasi ketiga
terbesar di dunia, Indonesia mendukung penerapan 5 standar demokratik seperti
penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan beragama, berpikir dan berkumpul. Pilkada telah umum dilaksanankan di
seluruh Indonesia. Pasal 18 bagian 4 dari Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan
bahwa para Gubernur, Bupati dan Wali Kota, sebagai kepala Pemerintahan
Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya harus dipilih secara demokratis. Bagian 3
juga mengatakan kekuasaan Pemerintah di Provinsi, Kabupaten Kotamadya, juga
termasuk DPRD yang aggotanya dipilih dalam pemilu.
99. Kadang kala dinamika penentuan nasib sendiri menimbulkan euphoria
didalam masyarakat yang dapat berakibat buruk. Sebagai contoh
implementasi pemilu Bupati di Tuban Jawa Timur pada bulan Mei 2006 telah
menciptakan kekacauan yang patut disayangkan, dalam bentuk pembakaran dan
perusakan gedung-gedung yang penting dan bersejarah.
100. Pemahaman Kelima, dari penentuan nasib sendiri ditujukan hak-hak
minoritas. Hak minoritas diterjemahkan sebagai hak kelompok yang memiliki
otonomi budaya dan politik di dalam negara.Prinsip ini diterjemahkan
norma-norma minoritas yang berkembang dan hak-hak penduduk asli yang tertuang
didalam berbagai kovenan tentang organisasi regional dan Internasional, serta
hak untuk berpasitipasi di dalam pemerintahan.Hal ini juga berlaku bagi
kebebasan beragama. Bagi Indonesia hal ini diperesepsikan bahwa semua warga
negara adalah sama dan serta, tanpa pembedaan yang didasari olah pertimbangan
apapun. Dalam hal ini tidak mudah untuk menilai siapa yang diangkap sebagai
kelompok minoritas di Indonesia.Namun Indonesia tak pernah mengabaikan hak-hak
minoritas. Pasal 18 ayat 2 dari Undang-Undang Dasar 1945 manyatakan bahwa
negara mengakui dan menghargai masyarakat tradisional beserta hak-hak adat,
selama hal ini sesuai dengan pembangunan nasional serta prinsip-prinsip NKRI
yang diatur oleh hukum.
101. Berdasarkan kelima pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa semua
warga negara memiliki hak mentukan nasip sendiri, dan berdasarkan hal tersebut
mereka bebas menentukan status politik serta berpartisipasi dalam pembagunan
ekonomi, sosial dan budayanya, sehingga pernyataan Pemerintah terkait dengan
pasal 1 dari ICCPR tentang menentukan nasib sendiri adalah cerminan dari
komitmen yang kuat pemerintah atas hak menentukan nasib sendiri. Pernyataan ini
sesuai dengan pasal 1 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sesuai dengan pernyataan pemberian
kemerdekaan bagi negara dan bangsa yang terjadi dan pernyataan tentang
prinsip-prinsip hukum Internasional tentang hubungan persahabatan dan kerjasama
antar negara sesuai dengan deklarasi dan rencana aksi vienna tahun 1993.
Versi DEPLU RI Sebagai Berikut: Oleh karena itu, kata-kata ”
Hak Menentukan Nasib Sendiri” yang muncul pada pasal tersebut tidak berlaku bagi
sebagian masyarakat di dalam negara merdeka dan berdaulat, dan tidak dapat
dianggap sebagai pemberian kewenangan atau mengajak melakukan tindakan apapun
yang dapat memecahkan secara keseluruhan atau sebagian keutuhan wilayah atau
politik dari negara-negara yang berdaulat dan merdeka.
102. Hal ini sejalan dengan panduan umum (General Comment) No. 12 dari
komite Hak-Hak Asasi manusia tertanggal 13 Maret 1984, tentang hak bangsa untuk
” Menentukan Nasib sendiri” (Pasal) yang menyatakan, ” Sejalan dengan maksud
dan prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pasal 1 dari ICCPR mengakui
bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak ini penting
pelaksanaannya merupakan kondisi yang penting bagi penjaminan dan pemantauan
hak-hak individu dan bagi pemajuan dan penguatan hak tersebut. Karena alasan
ini, memajukan hak menentukan nasib sendiri sebagai ketentuan hukum
positif didalam kedua kovenan dan menempatkan ketentuan ini sebagai pasal 1
yang terpisahkan dan didahulukan sebelum hak-hak lain yang terdapat didalam
kedua Kovenan ini. Komite HAM ini mengangkap bahwa sejarah telah membuktikan
pelaksanaan dan penghargaan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri memberi
andil bagi pembentukan hubungan dan kerjasama yang bersahabat antara negara
dan memperkuat perdamaian dan pemahaman Internasional”.
Notes:
Pada poin ke 95 Versi DEPLU Republik Indonesia dapat menjelaskan bahwa
Indonesia sepunuhnya mendukung Perjuangan Palestina, karena disana telah dan
sedang terjadi Pendudukan Asing. Dalam hal ini, Activis Independence Papua
Sebby Sambom berpendapat bahwa Indonesia tidak sadar kalau pendudukan Militer
Indonesia di atas Tanah milik Bangsa Papua adalah Pendudukan Asing.
Bagi Orang Pribumi Papua Barat bahwa Penduduk Imigran Melayu, yang telah
dan sedang menduduki Tanah Papua adalah Orang Asing yang datang sebagai
pencuri, Perampok, Pemerkosa serta pembunuh dan sedang melakukan tindakan
criminal, yang melanggar Hak Dasar Bangsa Papua di bagian Barat pulau New
Guinea.
2.3. Tanggapan Activis Independen Papua Sebby Sambom atas uraian
pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, dalam
release ini dapat dibaca pada bagian bawah ini.
Bahwa, dengan melihat, membaca, mempelajari dan menganalisis atas
pendefinisian penerjemahan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007
dari No. 65 halaman 22 sampai dengan No. 102 halaman 25 diatas, maka jelaslah
bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia telah dan sedang melakukan “Pembodohan dan Pembohongan Publik” atas
makna dan arti Hukum HAM Internasional yang sesungguhnya.
Karena, terjemahan serta pendefinisian oleh Departeman Luar Negeri Republik
Indonesia 2007 dapat memberikan deskripsi bahwa selama ini Pemerintah Indonesia
mengabaikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat pribumi.
Bahwa, terjemahan dan pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia sangat menyimbang dan jauh dari harapan Hukum HAM
Internasional.
Bahwa, definisi makna yang sebenarnya tidak diartikan dalam lima definisi
yang dapat diuraikan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Bahwa, oleh karena itu “International Human Rights Working Groups” yang
tergabung dalam Internasional NGOs perlu mengkritisi Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia atas penerjemahan yang menimbang dari pikiran utama
masyarakat Internasional, dan mengajukan hal ini ke Dewan HAM PBB serta Komite
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal ini dapat menjadi perhatian oleh semua pihak yang konsisten dengan
penegakan serta pemajuan atas perlindungan supermasi hukum dan Hak-Hak Asasi
Manusia sesuai dengan Piagam Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Asasi
Manusia, yang mana dapat ditunjukan dalam Kovenan Internasional atas Hak-Hak
Sipil dan Politik serta Hak-Hak ekonomi, sosial dan budaya, juga dalam
Deklarasi PBB atas Hak-Hak Indigenous Peoples 2007.
Contoh Ketiga, yang mengherankan dan lebih nyata adalah apa yang diucapkan oleh
Ruhut Sitompul dalam telewicara via telephone.
Yang dimaksud adalah:
Dialog Advokasi
Dengan Ruhut Sitompul
(Penasehat Hukum
Presiden SBY)
Via Telephone
(0811889999-081344906478 Jakarta-LP Abepura, Papua
Hari/ Tgl
Dialog
: Rabu 14 Oktober 2009
Waktu
: Pukul 07 : 30
Hubungkan
: Jakarta-LP Abepura
Isu
Dialog/Telewicara : Tahanan Politik Papua di LP
Abepura, Papua
Anggota
Telewicara : Rudolf
Dumbubuy, Sebby Sambom-Ruhut Sitompul
(Dialog
Telewicara) :
(LP Abepura, Papua-Jakarta)
Kronologis
Dialog : Rudolf Dumbubuy menelepon
Ruhut Sitompul dan memohon kontak balik, sehingga Ruhut
meneleponnya. Selanjutnya Rudolf alihkan Hp ke Sebby, kemudian komunikasi
berlanjut.
Dialog detail:
Sebby Sambom:
Selamat pagi pak,
saya sebby sambom (tahanan politik) perlu menyampaikan pesan untuk Presiden
SBY.
Ruhut Sitompul:
Anda di tahan
dimana, di Polda atau Polresta?
Sebby Sambom:
Kami di Rumah
Tahanan Negara LP Abepura, Papua.
Ruhut Sitompul:
Ok, silakan apa
yang menjadi persoalan kepada anda?
Sebby Sambom:
Kami meminta
perhatian Presiden SBY, karena kami ditangkap ditahan, sampai disidangkan
dengan dasar yang tidak jelas dan Penuh Rekayasa Politis yang mengada-ada.
Karena kami ditangkap hanya melakukan Demo damai, dan Demo damai ini adalah
dijamin oleh undang-undang Pemerintah Republik Indonesia serta Perjanjian
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang terutama adalah Pasal 19:
ayat 2 Kovenan Internasional dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, serta Pasal
28E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu
kami mempertanyakan kepada Presiden Indonesia, mengapa kami ditangkap dan
kenapa aparat Penegak Hukum di Papua melanggar Perjanjian Internasional?
Ruhut Sitompul:
Apakah anda sudah
hubungi Lembaga HAM Internasional?
Sebby Sambom:
Kami telah mengirim
surat, namun belum ada tangkapan.
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah
putih atau tidak?
Sebby sambom:
Saya activis
Independence Papua, yang mengangkat isu-isu Pelanggaran HAM di Papua.
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah
putih atau tidak?
Sebby Sambom:
Saya activis
Independence Papua, tidak mengakui keberadaan Indonesia di Papua dan
mempertanyakannya atas pelanggaran HAM melaui sikap protes kami dengan
melakukan demontrasi-demontrasi damai. Namun kami ditangkap dan ditahan serta
dapat diadili di Pengadilan tanpa bukti hokum yang mendasar.
Ruhut Sitompul:
Jika anda bukan
merah-putih, maka selamat tinggal di penjara sampai mati. Tetapi, jika anda
merah-putih, maka Kovenan Internasional melindungi anda.
Kesimpulannya
bahwa, Kovenan Internasional berlaku bagi orang Indonesia pro merah-putih,
orang Papua tidak.
Mengapa? Hal ini menjadi tanggungjawab semua pihak agar perlu pertanyakan
kepada Komissioner HAM PBB di Geneva, Swizerland. Artinya, mengapa Indonesia
bersikap acuh terhadap keputtusan bersama dalam deklarasi PBB atas penegakkan
dan perlindungan HAM?
Dari dialog ini memberikan gambaran bahwa orang Indonesia, bisa ajak
kompromi hanya dengan kelompok milisi merah putih dan mereka sudah membangun
milisi di Papua dibawah pimpinan Ramses Ohee. Milisi merah putih dibawah
pimpinan Ramses Ohee berjumlah 4833 orang. Yang mana telah di umumkan oleh
Ramses Ohee melalui media cetak(Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07
Tahun V, 3-8 November 2008). Kesimpulannya, bahwa cara pandang semua orang
Malay Indonesia sangat primitive dan paradox. Orang Indoensia model Ruhut
sitompul adalah manusia Cannibal, dalam era global ini.
Contoh Keempat, Pembohongan Kebenaran Sejarah terhadap publik
(memutarbalikan Fakta sejarah kebenaran Demi Kepentingan Sesuap Nasi) oleh
Ramses Ohee Silakan ikuti bagian bawah ini.
Milisi Barisan Merah Putih Bentukan Colonel Burhanuddin Siagian pada Juli
2007 di Aula Korem Jayapura dan yang telah resminya diumumkan oleh Ramses Ohee
pada Media Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November
2008).
Hal ini terbukti dari fakta perlakuan atau tindakan nyata Ramses ohee, yang
memutar-balikan fakta sejarah Papua demi sesuap nasi bagi keluarga dan dirinya.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Aparat Keamanannya di Papua menggunakan
nama Ondo Afi Ramses Ohee, telah dan sedang melakukan pembelokan sejarah Papua.
Aparat Keamanan Pemerintah Republik Indonesia di Papua juga telah dan
sedang melakukan provokasi-provokasi, terhadap orang Asli Papua melalui Lembaga
Milisi Barisan Merah Putih dibawah pimpinan Ramses Ohee dan juga melalui
pernyataan-pernyataan di media cetak maupun elektronik hingga kini.
Ramses Ohee dijadikan sebagai DAMENG oleh Aparat Keamanan Indonesia di
Papua, guna memuluskan misi pembelokan kebenaran sejarah Aneksasi Papua kedalam
wilayah NKRI.
Pembohongan public ini telah dan sedang dilakukan oleh Pangdam XVII
Cenderawasih dan POLDA Papua secara berkala, dari tahun ke tahun guna
meyakinkan Orang Asli Papua.
Namun fakta membuktikan bahwa Pangdam XVII Cenderawasih dan POLDA Papua
sulit meyakinkan Orang Asli Papua yang benar-benar Asli. Mengapa? Karena
pandangan Orang Asli Papua yang benar-benar Asli (the Indigenous
Peoples of West Papua), orang Malay Indonesia adalah orang asing yang
melakukan pendudukan illegal di atas tanah leluhur mereka.
Dengan dasar ini, maka Orang Asli Papua yang benar-benar Asli tetap
melakukan perlawanan untuk mengusir pendudukan illegal orang asing (Indonesia)
di tanah milik Bangsa Papua. Dan perlawanan akan berhenti, apabila Papua Barat
berdaulat penuh, dari tangan besi penjajahan baru Indonesia. Hal ini yang perlu
dipahami dengan baik oleh orang Indonesia, dan juga oleh masyarakat
Internasional.
Silakan Baca Komentar Kakek Bualan ini secara online atau boleh mencari di
google websearch dengan code liputan “Tabloid Suara Perempuan Papua
Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November 2008”.
Contoh Kelima, Lambatnya Ratifikasi Kovenan Internasional atas Hak-Hak Civil dan Politik
oleh Pemerintah Colonial Republik Indonesia.
Hal ini mengakibatkan Rakyat menjadi korban pelanggaran HAM selama 39 tahun.
Untuk membuktikannya silakan mengikuti bagian bawah ini.
Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 atas
Pengesahan Ratifikasi“International Covenant on Civil and Political
Rights”.
Pemerintah Republik Indonesia Mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Ekonomi, Sosial dan Budaya atas
persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Presiden Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 dibawah tanda tangan
Presiden Republik Indonesia ”Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono” dan di undangkan
di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 dibawah tanda tangan Menteri Hukum dan
Hak-Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ”Hamid Awaludin dan Menteri Sekretaris
Negara Republik Indonesia ”Abdul Wahid”.
Notes:
Fakta membuktikan bahwa Pemerintah Colonial Republik Indonesia telah
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak Civil dan Politik serta Ekonomi dan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selama 39 tahun lebih.
Hal ini yang dikatakan bahwa “Pemerintah Indonesia adalah
Negara Pelanggar Hukum Internasional dan Nasional”, karena Deklarasi
penandatangan Kovenan ini adalah tanggal 16 Desember 1966, namun Pemerintah
Indonesia baru saja meratifikasi dan disahkan pada tanggal 28 October 2005.
Semua orang wajib memperhatikan pelanggaran Hukum dan HAM yang telah dan
sedang lakukan oleh Pemerintah Colonial Republik Indonesia, karena hal ini
dapat merendahkan maratabat manusia.
Perlu adanya suatu tekanan oleh semua pihak, baik dari Masyarakat
Internasional dan Nasional serta lembaga-lembaga yang berbasis di Indonesia dan
lembaga-lembaga HAM Internasional yang bernaung dibawah payung Komisi Tinggi
Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (International Human Rights Working
Groups).
Demikian, lima contoh pelanggaran Hukum HAM Internasional dan Nasional yang
Pemerintah Colonial Republik Indonesia lakukan di atas menjadikan tolak ukur,
bahwa fakta yang sebenarnya begitu.
Pesan Activis Independence Papua Sebby Sambom kepada seluruh komponen
bangsa Papua Barat
Bahwa, jangan terprovokasi oleh tawaran premen manis Otsus Plus
Pemekaran-Pemekaran Provinsi dan Kabupaten yang bertujuan untuk dominasi
penduduk imigran di birokrasi, perdagangan dan bidang strategis lainnya, yang
secara sistematis membunuh Hak-Hak Sipil dan Politik serta Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dari bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
Akibatnya, telah dan sedang terjadi Marginalisasi terhadap orang asli Papua
dan pelanggaran HAM, yang berujung menuju Genocide (Pemusnahan Ras) atas bangsa Papua Barat. Hasil
dialog di atas dapat memberikan pandangan ideologi bangsa Papua yang
kontroversi dengan Jakarta, yang mana Jakarta bertindak Veodalistik dan
tangan besi yang anti HAM dan Demokrasi.
Bahwa oleh karena itu, mohon perhatian dari masyarakat Internasional atas
situasi ini, karena rakyat Papua tidak berdaya lagi untuk bertindak membela
Hak-Haknya. Mengapa? Karena berhubung Pemerintah Indonesia
tidak mengindahkan Instrumen-Instrumen HAM Internasional, yang mana Indonesia
juga ikut serta dalam perjanjian penandatanganan tentang Kovenan Internasional
atas Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Deklarasi PBB, atas Hak-Hak Bangsa
Pribumi (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples).
Bahasa yang sederhana adalah:
Pemerintah Republik Indonesia tidak laksanakan, Deklarasi Universal atas
HAM yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB (the
Universal Declaration of Human Rights); Kovenan Internasional atas Hak-Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang
telah diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarasi PBB atas Hak-Hak
Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples) yang diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB di
New York, Amerika Serikat pada tanggal 13 September 2007 dengan suara mendukung
144 Negara, Abstein 11 Negara, tidak mendukung 4 Negara (Kanada, Amerika
Serikat, Australia dan Selandia Baru), serta tidak hadir 30 Negara.
Indonesia adalah salah satu Negara Anggota PBB yang konsisten memberikan
suara, mendukung dan ikut menjadi penandatanganan dalam pengesahan Deklarasi
ini dalam Sidang Komisi HAM dan Sidang Majelis Umum PBB.
Oleh karena itu, Activis Independence Papua mohon perhatian dari
Pemerintah-Pemerintah Anggota PBB, Komisi HAM PBB, Human Rights Watch, NGOs HAM
Internasional dan Masyarakat Internasional.
Demikian release ini dapat diupdate kembali dan dipublikasikan pada media
massa, guna menjadi perhatian oleh semua pihak. Karena saat ini Aparat Keamanan
Pemerintah Colonial Republik Indonesia telah dan sedang melakukan banyak
pelanggaran Hukum dan HAM terhadap bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea.
Pelanggaran ini juga dihadapi oleh kelompok minioritas Religi di Indonesia
pada umumnya, yang mana merendahkan martabat manusia dan melanggar hak
kebebasan beragama. Penggaran HAM juga dapat dialami oleh penduduk orang Asli
Aceh di Tanah Rencong, sama seperti orang Asli Papua di Negeri Paradise (Island
of Paradise). By Sebby Sambom, Activis Independence Papua.
Sumber:
WPNLA
2013
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentari